Seruni Rindu Ini Kian Melepuh di Hatiku

TH.Indonesia. Pati - Kadang aku merasa teramat nyaman dengan kesendirian, sebab aku mencintai kesibukanku dengan tubuh dan pikiranku, (05/01/20).


Ada kalanya manusia boleh menjadi dirinya sendiri tanpa harus menjadi orang lain yang terpaksa harus tertawa ataupun menangis demi pandangan orang sekitar.

Sebenarnya kita hanya butuh kejujuran dan keihklasan dalam menerima segala kekurangan dan kelemahan diri.

Karena disitulah sebenarnya alasan kenapa kita harus bisa mencintai diri sendiri terlebih dulu sebelum berbagi dengan yang lain.

Aku mencintai diriku sebagaimana adanya aku yang berdiri menatap jiwaku melalui cermin kehidupan yang fana ini, seperti kumenatap wajah lembutnya seruni.

Bila ku harus pergi hanya sepotong hati jejaki langkahku nanti tanpa do'a, tanpa air mata karena ini semua hanya cerita tanpa kata, tanpa cinta yang tersesat dalam kepingan rindu dihatiku seruni.

Letih nyanyian sunyi memeluk heningku, kian lusuh musim hujan singgahi dermagaku yang kian basah peluh dan air mata, seperti gerimis dimusim hujan di awal januari ini.

Arloji meleleh di tanganku tatkala lidah memberi kesaksian, kau terperangkap dalam rakaat panjang dalam zikir dan doa mu, dalam tafakur yang hampa tanpa ujung yang tak pernah sampai.

Wajah siapa dalam cermin (seruni) mengabarkan matahari yang surut pendar cahayanya susut hatiku kusut, seperti gelagah yang membangkitkan rinduku padamu seruni.

Kita tersesat di tubuh sendiri
sebab lidah dan cermin tak seiring sejalan bayang - bayang diripun telah hilang.

Sejenak ingin ku lepaskan serabut tipis yang melingkar dibebanku dan kembang sayap cinta yang tumbuh lebat disana
untuk menyambut pelukanmu arjunaku dan tak hendak kulepaskan kau, cintaku (seruni).

Engkaukah lentera yang terbit cahaya di saat siang merebahkan malam pada impian, aku takkan lagi menjawabnya disini tentang pertanyaan beribu misteri sebelum bilik bibirmu bisa menyuarakan kalimat cinta yang tersimpan dalam hatimu seruni.

Sunyi inilah teman sejatiku
balada anak desa di taman gembala meniupkan seruling harap pada nada pilu meratap batas cakrawala yang semakin jelas, di mata letihku mengubur asa yang sempat melayang jauh letihku menanti cinta yang tak hendak berlabuh.

Kadang aku merasa, ada yang menemaniku merenda malam dalam kenangan tentangmu, sulit sekali melupakan jejak yang kau tinggalkan tentang canda dan tawa kita sepanjang hari.

Aroma khas lelaki yang ku puja, dulu sebelum tiba kata akhirku, satu yang ku sesalkan, kenapa kita tak berani jujur, bila kau baca pesan ini, jangan pernah kembali, karena langkahku terlanjur jauh, rindu yang terlarang. (Eko)