Pentingnya Peran Saksi Pelaku (Justice Collaborator) Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

TH.Indonesia. Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai peran saksi pelaku atau yang lebih dikenal dengan istilah justice collaborator sangat penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selamat Hari Anti Korupsi Se - Dunia, Lawan Korupsi hingga ke akar akarnya.

Namun sayangnya, peran saksi pelaku dalam penanganan kasus-kasus pidana seperti korupsi belum bisa berjalan dengan optimal.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menjelaskan peran saksi pelaku pada pengungkapan tindak pidana korupsi tidak saja bertujuan agar saksi pelaku ini mendapatkan hak-haknya seperti pengurangan hukuman, pemisahan berkas dan pemberian penghargaan, namun juga menjadi sarana pengembalian aset negara yang telah diambil dengan cara lancaHng.

Namun yang lebih penting lagi, peran saksi pelaku sangat vital untuk menguak tabir kasus korupsi yang sering mengalami kendala,” ujar Edwin saat jumpa PERS untuk menyambut Hari Anti Korupsi di kantor LPSK, Jakarta Timur, Senin tgl (09/12/19).

Sepajang pengamatan LPSK, berbagai mekanisme penerapan saksi pelaku yang telah disediakan guna pemberantasan tindak pidana korupsi sepertinya belum diterapkan maksimal. 

Penggunaan saksi pelaku dalam pengungkapan perkara perkara yang sulit belum terlihat hasilnya.

“Bahkan permohonan perlindungan sebagai saksi pelaku dalam tindak pidana korupsi kepada LPSK cenderung memperlihatkan angka yang rendah” kata Edwin.

Melihat data yang disampaikan oleh LPSK, serentang perjalanannya mulai tahun 2010 - 2019, terlindung LPSK yang berstatus sebagai saksi pelaku atau penerima perlakuan seperti saksi pelaku hanya berjumlah 15 orang.

Padahal dukungan dalam penegakan hukum terkait dengan saksi dan pelaku telah diatur jelas melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Sejak tahun 2006 saksi pelaku (justice collaborator) ini telah diatur sebagai istilah baru di Indonesia melalui UU No. 13 Tahun 2006 Jo UU No 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Edwin menambahkan, hadirnya UU No 31 Tahun 2014 telah menjadi peneguhan subyek baru yakni saksi pelaku dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

Artinya semua institusi yang terlibat dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, menjadi terikat dan wajib melaksanakan norma-norma yang diatur dalam UU tersebut.

“Seharusnya muatan pengaturan mengenai saksi pelaku yang ada pada aturan lain seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011, Peraturan Bersama Tahun 2011 dan PP No 99 Tahun 2012 yang mengatur mengenai Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak relevan untuk diterapkan, sepanjang aturan tersebut telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014. 

Dalam hal rumusan yang belum diatur dalam UU atau peraturan pelaksanaan maka masih bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan UU No 31 Tahun 2014,” tutur Edwin.

Edwin menjelaskan terkait pemberian penghargaan kepada saksi pelaku, dalam UU No. 31 Tahun 2014 Pasal 10 A ayat (4) dan (5) secara tegas menyebutkan bahwa untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan pidana.

“Hanya LPSK yang diberikan kewenangan oleh UU untuk memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam surat tuntutan kepada hakim, dan UU meminta kepada hakim agar memperhatikan rekomendasi dari LPSK.

Begitu pun perihal mendapatkan pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lainnya, LPSK diberi kewenangan sesuai UU yang berlaku untuk memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan HAM,” tegas Edwin.

Edwin menambahkan perlunya partisipasi yang besar dari individu ataupun semua pihak untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. 

LPSK mendorong masyarakat untuk tidak takut bersaksi dalam membongkar kasus kejahatan korupsi yang diketahuinya.

“Dalam sudut saksi pelaku yang ingin membongkar kasus korupsi misalnya, LPSK memandang pentingnya peran advokat/pengacara yang memegang idealisme tinggi untuk melakukan pendampingan hukum kepada saksi pelaku dalam sebuah perkara korupsi. 

Bila perlu dibentuk semacam Lembaga Bantuan Hukum khusus untuk mendampingi calon saksi pelaku agar dapat membongkar sebuah kasus tindak pidana korupsi yang tersebut” ujar Edwin
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK Achmadi menyatakan beberapa pendapat terkait penguatan peran saksi pelaku dalam pengungkapan perkara korupsi serta upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.

Achmadi menilai perlunya ada kesamaan pandangan dalam mekanisme penetapan, penghargaan dan perlindungan terhadap saksi pelaku dari seluruh aparat penegak hukum, karenanya LPSK mengusulkan perlunya sebuah regulasi berupa peraturan presiden sebagai upaya penyamaan pandangan terhadap saksi pelaku.

Selain itu Achmadi menghimbau aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan lembaga lainnya untuk dapat mengoptimalkan peran saksi pelaku dalam pengungkapan perkara tindak pidana korupsi serta memperhatikan Pasal 10 A, Pasal 28 ayat (2)  UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam penetapan seseorang sebagai saksi pelaku.

“Lawan Korupsi, Jangan Takut Bersaksi dan Selamat Hari Anti Korupsi". (ROI)