TH.Indonesia. Sejarah - "SAYA AKAN PULANG KARENA IBU ULANG TAHUN," Pierre Tendean, tulisnya kepada Ibunda tercinta beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965.
Pierre Tendean putra terkasih sang Bunda. |
Maria Elizabeth Cornet Tendean berulangtahun setiap tanggal 30 September, beliau seorang wanita ras Kaukasia, keturunan dari laki laki Prancis bernama Pierre Albert Cornet, dan berasal dari Kota Leiden, Belanda.
Berlibur ke Indonesia pada awal tahun 1930an, atas ajakan sahabat Maria Ferderika Rademayer Gondokusumo- yang nantinya menjadi ibu mertua Jenderal AH Nasution. Tidak lama berselang, Maria Elizabeth berjumpa dengan dokter AL Tendean dan menikahinya.
Dari rahimnya, lahir Pierre Andries Tendean, anak yang mewariskan ciri ciri wajah paling mirip dengan dirinya, seorang putera Minahasa-Prancis yang memiliki rasa nasionalisme dan jiwa ksatria yang kental kepada Indonesia, tanah air baru sang bunda.
Kasih sayang Maria Elizabeth kepada ketiga anaknya tidak terbantahkan, terutama terhadap Pierre, anak laki laki satu satunya yang sejak lulus SMA jarang berada di rumah, karena kesibukan meniti karir di bidang militer.
Pilihan cita-cita yang ditentang Ibu sejak awal, karena Ibu lbh ingin Pierre menjadi insinyur, menempuh jalan hidup yang "aman".
Tetapi demi melihat kesungguhan tekad sang putera dan sikap disiplin plus mandiri yg makin terbentuk, ia merestui juga Pierre menjadi tentara, tepat saat pelantikan sebagai Letnan Dua di Yogyakarta pada akhir tahun 1961.
Tugas-tugas sebagai perwira muda membuat Pierre selalu berjauhan dari Ibu. Ibu terus menerus diliputi kerinduan dan kekwatiran, cemas Pierre dimana, mengerjakan apa dan apakah selalu selamat, berpuluh surat dari Pierre belum menentramkan hatinya.
Begitu Jendral Nasution, menantu sahabat yang sudah dikenalnya sejak lama, meminang Pierre sebagai ajudan, terbit harapan Ibu, bahwa kerinduannya terhadap Pierre akan lebih mudah terbalas.
SEJARAH KEMUDIAN MENCATAT JUSTRU TUGAS MENGAWAL SANG JENDRAL ADALAH PENGABDIAN SELURUH DHARMA BAKTI PIERRE TENDEAN.
Pierre gugur tepat sehari sesudah hari ulang tahun Ibu. Waktu yang dijanjikan Pierre untuk pulang.
Pasca peristiwa G30S, Maria Elizabeth Tendean mengenang putera terkasih dgn cara mengumpulkan semua foto Pierre semasa hidup dan memperbesar foto foto tersebut dalam berbagai ukuran.
Foto foto berupa rekaman setiap tingkat pencapaian seorang Pierre Tendean, mulai dari lahir hingga menjabat ajudan menko hankam/kasad, yang dipajang di setiap sudut rumah.
Di kamar tidurnya, foto foto tersebut diletakkan di atas lemari kabinet pendek di samping tempat tidur.
Ibu Tendean selalu tidur di sisi terdekat lemari. Setiap malam ia akan memandangi dan mengajak bicara foto foto tersebut sampai bercucuran air mata di pipinya, mengenang anak yang tak kan pernah bisa kembali padanya.
Kadang, di waktu pagi atau siang, ia akan larut dalam kesedihannya menangis mengenang Pierre sambil duduk di kursi yg terdpt dalam kamar.
Beliau selalu merindukan Pierre, menantikan kedatangan sang putera dalam mimpi, yang sayangnya hampir tidak pernah terjadi.
Sekali Ibu bermimpi seolah olah Pierre masuk ke rumah, namun tidak lama karena Ibu segera terbangun sesudahnya.
Ibu sering bergumam ,"Di mana Tuhan waktu itu?" tidak pernah terduga Pierre akan gugur dalam lingkungan yang dikiranya aman.
Pierre tdk sdg berperang, tidak sedang bertugas di perbatasan. Dia di rumah Jenderal tertinggi AD, di ibukota.
Keluarga tidak bisa merelakan kenapa Pierre yang jelas jelas bukan Jenderal Nasution yang diincar, masih juga dibunuh secara keji pada 1 Okt pagi itu.
Selain foto, surat surat yang dikirim Pierre selama bersekolah di Bandung, bertugas di Medan dan Jakarta, dikumpulkan Ibu dan dirunut berdasarkan tgl penerimaan.
Setiap minggu, Ibu akan menempuh perjalanan darat Semarang-Jakarta dgn bus untuk membayar rindu di tepi makam sang anak di TMP Kalibata. Pada awalnya, kunjungan dilakukan pada siang hari, namun karena risi ditonton oleh pengunjung lain, akhirnya Ibu memutuskan berziarah di pusara Pierre pada malam hari, untuk lebih mendapatkan privacy.
Kunjungan terakhir Ibu adalah pada hari Selasa, 15 Agustus 1967. Ibu memenuhi makam Pierre dengan banyak bunga anggrek, kunjungan rindu sang ibu malam itu ditemani oleh rintik hujan.
"Pierre, waar bent je nu, minjn jongen?"
(Pierre, dimana engkau sekarang anakku? Kau tahu Ibu ada di sini), bisiknya lirih saat menyandarkan kepala di nisan Pierre.
Keesokan harinya, sesudah kembali di Semarang, Ibu jatuh sakit, merasa tidak enak badan seperti terkena flu.
Semalaman ia menghabiskan waktu di pusara Pierre dalam keadaan basah akibat hujan, beliau segera dirawat di RS Elizabeth.
Pada malam pertama perawatan, Roos mendengar ibu berkata ,"Pierre, Pierre, ik houd het al niet meer uit." (Pierre, Pierre aku sudah tidak tahan lagi) Seakan2 Pierre hadir di hadapannya.
Jumat, 18 Agustus 1967, siang, ibu tampak membaik dan meminta Roos pulang dan digantikan jaga oleh Ayah Tendean.
Sebuah permintaan yang terhitung aneh oleh Roos, karena Ibu selama ini adalah sosok yang sangat menjaga kesehatan ayah.
Ternyata itu adalah tanda yang diberi Ibu kepada puterinya, bahwa ia ingin dilepas pergi dalam pendampingan suami tercinta.
Karena pada pukul 2 dini hari tanggal 19 Agustus 1967, Ibu Tendean berpulang ke Sang Khalik selama lamanya dalam tidurnya.
Maria Elizebeth Tendean dimakamkan di TPU Bergota Semarang, jenazah Ibu ditutupi dengan selimut yang pernah dipakai Pierre, sesuai wasiatnya jauh hari kepada keluarga.
SUMBER :
SANG PATRIOT : KISAH SEORANG PAHLAWAN REVOLUSI, BIOGRAFI RESMI PIERRE TENDEAN.