Ratusan Massa GJL Geruduk Kantor BPKAD Pati

TH.Indonesia. Pati - Ratusan massa dari  berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam GJL (Gerakan Jalan Lurus), Kamis pagi mendatangi kantor BPKAD Kabupaten Pati.

GJL siap menjadi garda depan dalam membela kepentingan rakyat kecil.

Kedatangan mereka guna menyoroti tingginya tarif pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) yang harus disetor kepada Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Pati.


Koordinator aksi GJL Riyanta SH dalam kesempatan audiensi dengan pejabat BPKAD yang ditemui Kepala BPKAD Pati  Turi Atmoko, Dodo Subagyo, Moh Yasin serta pejabat lainnya, menjelaskan berkaitan BPHTB sesuai UU No 28 Tahun 2009 Pasal 87, pengenaan berdasar nilai transaksi.

Tetapi oleh BPKAD bukan pada nilai transaksi, dengan kewenangan subyektivitasnya untuk menentukan harga yang tidak sesuai transaksi.

Jual beli kesepakatan harga para pihak. Jual beli ya nilai transaksi yang di sepakati penjual dan pembeli. Pasal 87 ayat 1,2,3 harus ditegakkan. Contoh praktek transaksi senilai 160 Juta oleh warga Margomulyo Kecamatan Tayu bernama Wildan.

Transaksi pada awal oleh PPAT Sugiharti SH alamat sebelah utara kantor CPM Pati. Upload oleh PPAT Sugiharti sesuai sistem 190 Juta, tetapi di BPKAD muncul nilai 2 Milyar," jelasnya.

Kedatangannya dan rombongan hanya minta klarifikasi apa yang mendasari nilai transaksi mencapai 2 Milyar.

Sementara untuk pengurusan menggunakan sistem online, yang seharusnya cepat, biaya murah, tapi kenyataannya ? Kejadian semacam ini masih banyak di temukan di lapangan dengan besaran nilai yang sangat cukup fantastis dan proses yang lama," ungkapnya.

Lebih lanjut Riyanta SH menyampaikan agar di dalam  menentukan pajak BPHTB disesuaikan dengan aturan hukum yang ada.

Pajak BPHTB 2,5 persen yang sudah ada, diturunkan menjadi 1 persen kali nilai transaksi dari warga dengan kekayaan tertentu (warga miskin).

Sedangkan untuk waris dan hibah warga miskin digratiskan/tidak kena pajak, agar warga miskin tidak menjadi objek pajak," paparnya.

Disinyalir hal seperti itu sering terjadi di seluruh kabupaten/kota, peluang sangat besar karena berkepentingan dengan kewenangan.

Kasi pajak tidak menentukan nilai sebenarnya transaksi, tapi dengan tafsir yang seenaknya sendiri," tegasnya Riyanta SH.

Kejadian semacam ini tidak hanya di Pati saja, di kota lain juga ada seperti DIY. Di UU 87 ada sangsi pidana, pembeli dan penjual yang tidak jujur dapat sangsi pidana, tegakkan sangsi pidana," pungkasnya Riyanta SH.

Sementara Kepala BPKAD Turi Atmoko menegaskan, tarif pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ( BPHTB ) sudah sesuai aturan dan terhitung murah.

Di Kabupaten Pati Peraturan Daerah itu tertuang di Perda Nomor 8 Tahun 2017 perubahan atas Perda Nomor 1 Tahun 2011 tentang BPHTB, dalam aturan pajak maksimal 5 persen. Namun untuk di Perda sudah di turunkan menjadi 2,5  persen sejak 2017 lalu.

Penurunan tarif pajak BPHTB menjadi 2,5 persen itu sudah sangat meringankan," ungkapnya.

Turi berharap tidak perlu saling menyalahkan, karena lama bukan dari BPKAD tapi dari notaris dan pemohon, kelengkapan berkas menjadi ukuran. 

Apabila kelengkapan berkas semua telah terpenuhi, upload penetapan nilai sekian telah di penuhi maka akan segera di cetak.

Akan tetapi lama itu terjadi apabila upload penetapan sekian nilainya tidak segera di bayarkan karena tidak sesuai yang di harapkan, itu yang menjadi lama," imbuhnya.

Kami optimalkan mediasi 50 pemohon tiap hari. Klarifikasi penilaian BPKAD dengan pemohon harus ditemukan.

Terkait permintaan penurunan menjadi 1 persen silahkan diusulkan ketingkat pusat, karena kewenangan ada dipusat," ungkap Turi Atmoko.

Jelas hal ini sangat merugikan rakyat kecil dengan kehidupan yang pas pasan jika ada kewenangan yang sewenang wenang yang dilakukan oleh pejabat BPKAD. ($.ucipto)