Pertempuran Remexio, Menjadi Ajang Kehebatan Tatang Koeswara

TH.Indonesia. Jejak Sejarah - Satu di antara misi tempur Tatang yang menghasilkan kill hingga 49 korban adalah ketika Tatang bertempur untuk menghadang serangan pasukan Fretilin di kawasan Remexio (1977).

Almarhum Tatang Koeswara dalam sebuah misi yang diembannya.

Medan tempur Remexio yang bergunung dan terletak di belakang kota Dili memang dikenal sebagai kuburan bagi pasukan TNI mengingat begitu banyaknya ribuan prajurit yang telah gugur dimedan laga.

Sebelum berangkat ke medan perang di pegunungan Remexio, yang terletak sekitar 30 Km dari kota Dili, Tatang membekali diri dengan senapan Winchester M-70 berperedam suara lengkap dengan 50 butir peluru kaliber 7,62 mm berwarna putih.

Sesuai doktrin pelatihan sniper Green Beret, setiap sniper yang bertugas perang diperintahkan membawa 50 peluru. 

Sebanyak 49 peluru untuk musuh, sedangkan satu peluru yang tersisa untuk sniper-nya.

Melalui doktrin latihan sniper, Tatang ditekankan lebih baik seorang sniper mati bunuh diri daripada tertangkap oleh musuh.

Prinsip menyediakan satu peluru untuk menembak dirinya sendiri, itu sebenarnya tidak asing di kalangan pasukan khusus.

Pasukan Legiun Asing Perancis misalnya, juga memerintahkan untuk menyisakan satu peluru untuk dirinya sendiri daripada menyerah lalu ditangkap musuh dan disiksa habis-habisan.

Pasukan Jepang pada PD II juga punya prinsip sisakan satu peluru untuk dirinya sendiri atau lebih ngeri lagi sisakan satu granat untuk dirinya sendiri dan mati berkeping-keping bersama dengan pasukan musuh yang mengelilingi.

Dengan missi tempur one way ticket itu, Tatang sudah paham apa yang harus dihadapi. 

Oleh karena itu ia sering membawa foto keluarga dengan alasan kalau harus gugur di medan tempur, ia merasa mati di tengah-tengah keluarganya sendiri.

Perangkat tempur lain yang dibawa Tatang adalah teropong siang dan malam, radio komunikasi, senapan serbu AK-47 untuk kepentingan bela diri, obat-obatan sekedarnya, makanan tahan lama untuk dua hari berupa geplak (tepung padat) dan pakaian kamuflase.

Tapi dalam missi di daerah paling rawan ini, Kolonel Edi Sudrajat menyertakan seorang pengawal dari Kopassus, Letnan Ginting yang membekali diri dengan senapan serbu AK-47 dan teleskop.

Mendapat pengawalan dari seorang prajurit yang masih muda dan hanya mengenakan pakaian tempur warna hijau loreng itu, Tatang justru merasa terganggu karena bukan merasa sedang mengawal tapi justru harus melindungi pengawalnya.

Dalam misi tempur seorang sniper berdasar didikan dari Green Beret, sniper memang perlu ditemani seorang spotter. 

Peran spotter atau observer bertugas sebagai patner yang juga berkemampauan sniper dan dilengkapi senapan penembak jitu.

Antara sniper dan spotter juga harus sering latihan bersama sehingga kerja sama di medan tempur lebih mudah, termasuk ketika harus berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.

Seorang spotter yang dibekali senapan serbu juga harus siap melaksanakan raid dalam kondisi terdesak sehingga dukungan tembakan yang dilancarkan spotter bisa memberikan kemungkinan partnernya selamat.

Dalam kondisi paling mendesak, spotter bahkan harus bersedia mengumpankan dirinya sebagai sasaran tembak sehingga rekannya bisa menjalankan tugasnya secara maksimal.

Secara psikologis Tatang juga terganggu karena pengawalnya berpangkat lebih tinggi (Perwira) sedangkan dirinya berpangkat Sertu (Bintara).

Tapi dalam misi tempur yang harus bertaruh nyawa itu, Tatang terpaksa memerintah dan mengatur strategi tempur karena pengalaman tempur Letnan Ginting yang masih minim, khususnya dalam taktik tempur seorang sniper.

Menurut Tatang, jika penembak jitu sudah mulai memakan korbannya, rekan-rekan korban yang panik biasanya akan mencari lokasi sembunyi Sniper di tempat paling tinggi lalu menghujaninya dengan tembak mortir atau senapan mesin secara sporadis.

Jika kedua senjata berat itu tidak ada mereka juga akan memuntahkan peluru senapan serbunya secara membabi-buta.

Dalam jarak tembak radius 300 meter senapan serbu yang ditembakkan secara serempak bisa membabat semua sasaran secara telak dan mematikan. 

Sulit menghindari siraman peluru senapan serbu yang ditembakkan serentak secara merata oleh puluhan bahkan ratudan prajurit fretelin sekaligus.

Untuk menghindari akibat vatal itu, Tatang lalu mengajak Ginting bersembunyi di pinggir tebing curam yang dari sisi lokasi sangat tersembunyi dan tidak mungkin didatangi pasukan oleh musuh.

Lokasi itu harus dicapai meskipun dengan susah payah karena banyaknya semak berduri dan kemungkinan ada ularnya.

Untuk bertemu ular, Tatang memang tidak masalah karena dirinya memiliki ilmu kebal semua bisa ular, artinya ia bisa menyingkirkan ular itu dengan mudah tanpa harus membuat Ginting terganggu dengan banyaknya ular yang bersembunyi di antara semak semak.

Setelah menemukan tempat yang dicari, Tatang pun menyiapkan senapan M-70-nya didampingi Ginting yang dari sisi teknik kamuflase kurang maksimal. 

Tatang hanya bisa berharap rekannya yang masih hijau itu tidak berbuat ceroboh, seperti menembak tanpa perintah, karena berbuat kecerobohan bisa berarti nyawa keduanya melayang di tangan musuh.

Dalam situasi kritis itu Tatang memang terpaksa bertindak sebagai pengendali meskipun pangkat Ginting jauh lebih tinggi.

Penilaian Tatang ternyata tepat esok harinya posisi ketinggian yang disarankan Ginting untuk mengendap ternyata diperiksa patroli musuh yang jumlahnya puluhan hingga ratusan prajurit fretilin.

Tak berapa lama kemudian ratusan pasukan Fretilin berkumpul di lokasi ketinggian itu dan tampaknya mereka sedang menyiapkan rencana untuk menyerbu atau melakukan serangan dadakan terhadap pasukan TNI. 

Jarak mereka hanya sekitar 50 meter dan jika ditembak para gerilayawan itu akibatnya sangat riskan, posisi Tatang dan Ginting pasti mudah diketahui oleh musuh.

Tatang terkejut menghadapi musuh yang jumlahya ratusan itu tapi tugas untuk menghambat musuh atau bahkan memukul mundur harus tetap dilakukan.

Untuk memecah perhatian lawan Tatang lalu mengontak Kolonel Edi Sudrajat dengan radio agar pasukan TNI yang sedang berpatroli menyerang pasukan Fretilin itu dari sisi timur.

Tak berapa lama tembakan gencar pun meletus dari arah timur dan kelompak pasukan Fretilin di depan Tatang mulai pecah perhatiannya dan terbagi beberapa kelompok.

Tatang lalu melakukan penilaian apakah tembakan senyap yang dilancarkannya aman bagi diri dan sekaligus pengawalnya.

Untuk menghindari malapetaka Tatang yang sudah memasang peredam memerintahkan Ginting agar tidak melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat terdesak karena suara tembakan akan memberi tahu kedudukan posisi mereka.

Setelah melakukan perhitungan cermat bahwa musuh sudah berada dibawah dengan jarak tembak 300 meter jaraknya, Tatang pun mulai membidik dan satu demi satu menjatuhkan musuh potensial khususnya yang memegang senjata otomatis.

Tembakan jitu Tatang yang semuanya menghantam kepala musuh langsung menimbulkan suasana kacau musuh yang berada pada jarak tembak 300 hingga 600 meter itu. 

Musuh berusaha melepaskan tembakan balasan secara membabi-buta dan serentak tapi tidak pernah menyasar ke tempat Tatang dan pengawalnya bersembunyi di ketinggian.

Apalagi jarak antara Tatang dan Ginting dengan para gerilyawan di atas 300 meter sehingga akurasi lesatan arah peluru senapan serbu sudah tidak maksimal lagi.

Letnan Ginting akhirnya baru sadar akan kemampuan Tatang ketika dalam jarak antara 300 hingga 900 meter, Tatang dapat berhasil menumbangkan musuh sasaran terpilih dengan tembakan jitu di kepalanya.

Diam-diam Letnan Ginting meneropong sekaligus menghitung sasaran yang berhasil dijatuhkan Tatang dalam missi tempur di Remexio dan sedikitnya 49 musuh berhasil dirobohkan.

Ia juga menyaksikan bagaimana komandan musuh yang sedang naik kuda dan sibuk memerintah tiba-tiba terjatuh dan terjungkal akibat tembakan jitu Tatang yang tepat menghantam tembus bagian kepala.

Kekacauan komando pasukan musuh langsung terlihat akibat tewasnya sang komandan, beberapa gerilyawan Fretilin menembakkan senjata secara sporadis dan membabi buta ke berbagai arah.

Seorang personel pembawa radio yang sedang berusaha melakukan komunikasi terpaksa ditembak Tatang di bagian dada karena jarak tembaknya sudah mencapai titik sekitar 900 meter.

Pelurunya menembus dada sekaligus merusakkan alat komunikasi yang dibawanya. 

Letnan Ginting hanya bisa geleng-geleng kagum kepala melihat aksi tempur Tatang dengan mata kepalanya sendiri saat itu.

Hasilnya, hari itu misi tempur sukses karena musuh melarikan diri, dari 50 butir peluru yang dibawa Tatang tinggal satu butir peluru yang tetap dibawanya kembali menuju ke markas. ($.$1)