Sayonara Corona Pandemi Covid - 19, Refleksi Tahun 2020 - 2021 dan Intropeksi Diri

THI. Pati - Hampir dua tahun bangsa ini menanggung beban derita pandemi corona (covid-19), wabah yang berasal dari daratan wuhan tiongkok (china) cukup membuat matang biru kondisi sekarang ini, baik secara moril, kesehatan maupun secara perekonomian memberikan dampak yang cukup berat bagi rakyat Indonesia khususnya masyarakat dengan ekonomi kecil para pelaku usaha menengah kebawah, selasa tgl (14/09/21).



Sejarah ratusan tahun bahkan ribuan tahun yang lalu, wabah atau epidemi telah menyerang umat manusia hingga hampir menyebabkan kepunahan umat manusia karena wabah dengan siklus ratusan tahun ini.

Pada kurun waktu awal abad masehi di akhir tahun 165 M kekaisaran romawi mengalami wabah antonine (cacar) yang juga sangat melemahkan populasi umat manusia pada waktu itu.

Wabah terus mendera datang silih bergantian seperti wabah penyakit pes, colera, kusta, flu burung, flu spanyol, ebola, aids, sars, flu babi dan lainnya menjadi hantu kematian yang setiap saat menjemput seperti malaikat sang pencabut nyawa hingga di awal abad milinium saat ini.

Tidak bisa dipungkiri dunia dengan galaksi bima sakti ini mempunyai siklus yang berputar (rotasi) seperti bumi dan planet lainnya yang mengitari matahari, dengan caranya dengan kondisi alam semesta bahwa inilah kuasaNya, menjadi garis kodrat yang harus dilalui oleh umat manusia yang mendiami kehidupan dibumi ini.

Bencana manusia dan alam adalah refleksi diri seluruh umat manusia di dunia untuk selalu bersyukur kehadirat tuhan yang maha esa, agar kita selalu waspada (eling) bahwa kita hanyalah makhlukNya yang harus rendah hati bersinergi dengan seluruh ciptaanNya untuk merawat bumi ini, agar dijauhkan dari segala marabahaya.

Ibu pertiwi telah hilang kendali (murka) karena ulah anak anaknya, karena keserakahan segelintir manusia hingga bencana merajalela dimana mana, banjir stunami, gempa, letusan gunung berapi adalah bentuk sang ibu pertiwi tak kuasa menanggung beban dan derita atas segala pertambangan yang membabi buta.



Bersyukurlah kita yang telah melewati masa pandemi ini, setelah serangkaian dentuman wabah corona diseluruh dunia hingga telah mengakibatkan kematian yang begitu menyakitkan, saudara kita telah kehilangan ibunya, ayah, adik, kakak dan handai tulan saudara kita yang lainnya gugur bunga dibumi persada.

Namun sejarah ini adalah awal dari kebangkitan kehidupan sebenarnya untuk menatap masa depan yang lebih cerah, gemilang dari sebuah bangsa yang telah menjadi pesakitan selama ini.

Bangsa Indonesia yang mempunyai keanekaragaman suku, bahasa dan agama adalah dinasti yang hilang sekian puluh ribu tahun yang lalu, peradabannya diakui oleh dunia, sebuah negeri atlantis yang musnah (seakan lenyap tanpa bekas) dengan ras manusia tercanggih di zamannya dengan anekaragaman warisan budaya yang adiluhung, candi candi yang betebaran diseluruh nusantara adalah bukti leluhur kita yang sudah mempunyai kepandaian yang luar biasa.

Jika jangko (serat) Joyoboyo sudah tertulis dalam tinta emasnya, bumi nusantara menjadi kiblat umat manusia di dunia adalah sebuah gambaran dan refleksi diri dari para leluhur kita seutuhnya, sebuah pencarian proses perjalanan panjang bangsa indonesia (NKRI) yang telah terserat (tertulis) dalam panji panji sang satrio piningit, yang kan menuntun umat manusia dalam singgasana (NUR) kasih sayang yang sejati.



Panji panji nusantara menjadi pilar dalam sendi sendi kehidupan yang nyata, bagaimana bumi nusantara menjelma menjadi MERCU-SUAR nya dunia. Bangkitnya sang ibu pertiwi (bumi nusantara) ditengah wabah pagebluk saat ini adalah wujud nyata dari vebronasi alam semesta, yang hilang ditengah pelupuk mata.

Sebuah misteri yang cukup panjang untuk mengurai dari para sepuh negara, dari para faundhing father dan dari para leluhur nusantara untuk bangkit bersama sama," sambungnya. (bersambung)

Nb : penulis adalah pemerhati seni dan budaya, Eko Hariyanto, AMd.