Tenggelamnya KRI Matjan Tutul Bersama Komodor Yos Sudarso

TH.Indonesia. Sejarah - "Ketika Si Bung murka atas tenggelamnya KRI Matjan Tutul berujung kepada pemberhentian KASAU Suryadarma dan diadakannya Operasi Jayawijaya."

Dok/THI.

Apa yang terjadi usai KRI Matjan Tutul dikeroyok oleh tiga kapal perang Belanda? Dalam pelariannya di atas KRI Harimau, Kolonel Sudomo dengan sigap segera mengirim kawat ke MBAL (Markas Besar Angkatan Laut) di Jakarta. 

Dia meminta agar MBAL mengontak MBAU (Markas Besar Angkatan Udara) agar secepatnya mengirimkan pesawat-pesawat pembom AURI untuk membantu posisi KRI Matjan Tutul.

“Saya meminta mereka untuk membom saja kapal-kapal Belanda yang sedang mengejar tersebut, karena jelas mereka semua sudah memasuki wilayah perairan territorial Indonesia,” ujar Sudomo kepada Julius Pour dalam Laksamana Sudomo Mengatasi Gelombang Kehidupan.

Alih-alih terlaksana, permintaan Sudomo itu malah tak mendapat respon apapun. Mengetahui gelagat seperti itu, Asisten Operasi KASAD Kolonel Moersjid yang saat itu ada di dalam KRI Harimau, menjadi geram. 

Belakangan, diketahui bahwa meskipun kawat itu sampai ke MBAU, namun pihak AURI mengalami kesukaran teknis operasional untuk mewujudkan suatu permintaan yang sifatnya mendadak dan tidak terencana.

Presiden Marah,, begitu sampai di pangkalan, Kolonel Moersjid langsung terbang ke Jakarta. 

Setiba di ibu kota, dia lantas menemui Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution. Moersjid melaporkan semua yang dia alami di Arafuru, termasuk respon negatif AURI. Nasution menanggapinya dengan diam seribu basa. 

Moersjid kesal, lantas berkata kepada atasannya itu ;

“Jenderal takut melaporkan kenyataan ini?”
Hening sejenak, namun keluar juga ucapan dari Nasution.

“Hari ini akan ada sidang Dewan Pertahanan Nasional di Istana Bogor, silakan Kolonel ikut ke sana…”

Empat hari setelah kejadian Insiden Arafuru, Moersjid melangkah ke ruang rapat di Istana Bogor. 

Di hadapan Presiden Sukarno dan para perwira tinggi, secara emosional dia menceritakan apa yang dia alami selama ada di palagan Arafuru.

"Saya tak pedulikan semuanya, pangkat saya hanya kolonel, pangkat paling rendah dari seluruh hadirin di ruangan tersebut. 

Saya nothing to lose, maka saya beberkan saja semuanya dengan lugas. Omong kosong AURI mampu menjaga wilayah udara Indonesia up to the minute, omong kosong karena tak seekor pun (pesawat) capung muncul ketika kapal kami diserang…”

Mendengar laporan langsung dari Moersjid, wajah Presiden Sukarno menjadi merah padam, nampak sekali Si Bung menjadi murka. Dia lantas membuat rapat terbatas bersama panglima dari ketiga angkatan: Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Saat memasuki ruang rapat itulah, tetiba Kasal R.E. Martadinata langsung menunjuk muka Kasau Suryadarma. “Mengapa AURI tidak membantu kapal saya?!” tanyanya sambil terlihat emosional.

Suryadarma yang merasa tak pernah dilibatkan dalam operasi itu tentu saja tak bisa menerima begitu saja dirinya disalahkan. 

Menurutnya, tak ada alasan bagi AURI untuk menolak tugas jika memang sebelumnya sudah dikonfirmasi mengenai suatu operasi rahasia.

“Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada surat tembusan ke AURI bahwa ALRI sedang mengadakan operasi,” jawab Suryadarma dalam biografinya Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma.

Usai rapat, Suryadarma langsung menuju MBAU. Dari seluruh berita yang masuk melalui PHB Langgur ditemukan satu berita SOS yang berasal dari KRI Matjan Tutul (bukan dari KRI Harimau). 

Namun ketika dikonfirmasi oleh PHB Langgur, taka da respon sama sekali dari sana. Saat itu juga, PHB Langgur menindaklanjuti dengan melakukan cross-check ke PHB Cililitan, dilanjutkan dengan menanyakan kepada piket Komando Mandala. 

Keadaan piket Komando Mandala pun menyatakan tak tahu menahu tentang adanya kegiatan operasi tersebut.

Suryadarma Diberhentikan
Merasa tidak ada yang salah dengan AURI, dalam rapat kedua di Istana Merdeka bersama Bung Karno dan Kasad Nasution serta Kasal Martadinata, Kasau Suryadarma menyatakan bahwa AURI tak bisa disalahkan dalam kasus tersebut. 

“Bagaimana AURI bisa membantu kalau tidak tahu adanya kegiatan kalian. Kita harus lebih terbuka dalam merencanakan semua kegiatan operasi…” ujar Suryadarma.

Apapun yang terjadi, Bung Karno terlanjur marah akibat Insiden Arafuru tersebut. Kepada ketiga kepala staf itulah, dia lantas bertanya: siapkah untuk melakukan aksi balas dendam kepada Belanda? Martadinata dan Nasution menyatakan siap, hanya Suryadarma yang menyatakan tidak.

Dalam biografinya, Suryadarma menyatakan tidak yakin dengan kekuatan personilnya, jika keinginan Bung Karno, bahwa tentara kita harus diterjunkan secara besar-besaran di Irian itu artinya Indonesia sudah menyatakan perang terbuka kepada Belanda. 

Untuk perang terbuka, kata Suryadarma, PGT (Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara) tentu saja belum memiliki kemampuan itu. 

Mereka hanya bisa melakukan operasi terbatas saja, soal perlengkapan komunikasi antar pasukan pun dinyatakan masih minim. Singkatnya, Suryadarma tidak ingin mengorbankan jiwa prajurit-prajuritnya secara sia-sia, hanya untuk menyenangkan hati Bung Karno.

Kepada Si Bung, Suryadarma juga memaparkan bagaimana masalah akan terjadi jika pesawat-pesawat pembom AURI tidak mendapat pangkalan yang layak untuk menyerang posisi Belanda di Irian. 

“Kita memang punya Morotai, tapi terlalu jauh dari Irian. Adapun pangkalan udara Leftuan dan Langguran yang relatif dekat dengan Irian, kondisinya tidak memenuhi syarat untuk didarati oleh MIG-21…” ungkap Suryadarma.

Alih-alih bisa menerima alasan Suryadarma, Bung Karno malah menarik Nasution dan Martadinata ke ruang sebelah. 

Mereka meninggalkan Suryadarma sendirian. Suryadarma sendiri mengakui dia sangat kecewa diperlakukan demikian oleh pimpinan tertingginya.

Setelah beberapa lama, Bung Karno dan kedua kepala staf kembali ke ruangan di mana Suryadarma berada. 

Dengan suara berat namun tegas, ia menyatakan memberhentikan Suryadarma dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dan mengangkat Omar Dani sebagai penggantinya. 

Tentu saja, sebagai seorang tentara, tak ada sikap lain selain menerima pemberhentian itu secara lapang dada.

Sepeninggal Suryadarma, operasi “balas dendam” pun dirancang, awalnya aksi militer yang diberi sandi “Operasi Jayawijaya” itu akan dilakukan pada 12 Agustus 1962. 

Lantas karena banyak kendala, kemudian dimundurkan menjadi tanggal 19 Agustus 1962. Sebelum terjadi, empat hari pra operasi, markas besar PBB di New York mengumumkan bahwa perundingan antara Indonesia dengan Belanda telah berhasil mencapai suatu kesepakatan, Belanda akan angkat kaki dari Irian Barat pada 1 Mei 1963, maka otomatis Operasi Jayawijaya pun tidak jadi diselenggarakan. 

KRI Matjan Tutul saat melaju ke Arafuru, menerjang badai pertempuran yang tidak berimbang.

Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai kisah heroik KRI Matjan Tutul yang gagah perkasa bersama sang komodor Yos Sudarso, walaupun harus berdarah darah menghadapi lawan lawannya digempur dari depan kanan dan kiri hingga jatuh tersungkur dan tenggelam bersama awaknya kapalnya, hingga detik terakhir kematian beliau masih terus semangat untuk terus berjuang hingga tetes darah terakhir. ($.rozi)